Jumat, 10 Januari 2020

Kehilangan Diri Sendiri

Foto oleh Simon Simberg dari Pexels



Rasanya, 24 jam terlalu sempit untuk melakukan semuanya sekaligus. Tidur berarti mati. Padahal tubuh sudah menuntut di ujung hari. Dan di ujung jari, ruang obrolan tak pernah sunyi, sejumlah pesan sengaja tak dibuka untuk sekian lama, sederet target ingin dipenuhi segera selekas berdoa.

Tiba-tiba kamu tersesat dalam distraksi informasi. Kabar hangat negeri ini. Kabar teman di negeri lain. Kabar mereka yang kehormatannya terukur melalui jumlah hati, yang terasa lengkap dengan postingan keluarga serta buku nikah tahun ini, yang mewujudkan ide-idemu lebih dulu, yang prestasinya melejit sekaligus bikin cemburu, yang tampak sangat lebih bahagia dari pada kamu.

Jagat sosial media telah memaksamu jadi bintang. Terang tapi terasing. Di atas sana, kamu ukir dirimu dengan kata-kata memukau. Kamu reka pribadi paling baik, paling cantik. Segala cara. Hanya untuk dilirik. Seperti sedang mendekorasi stand pameran, kamu tampilkan segala sesuatu dari hidupmu yang berkilau dan kamu buang yang karatan.

Begitu pandai kamu menjaga hati banyak orang untuk tak berlari dari tempatmu berpijak saat ini. Diam-daim, tanpa disadari, kamu pun amat sibuk untuk menjaga hatimu untuk tak dicederai.

Tanda centang dua biru telah mengubah cara berpikirmu. Tentang penting atau tidaknya dirimu dimata orang lain. Ada bayangan hitam berbisik di kepalamu saat notifikasi belum juga berbunyi, “Aku ganggu gak, ya? Kok doi update status tapi gak bales-bales? Kenapa banyak orang jadi pergi? Harusnya aku gak bilang kayak gini! Jangan-jangan aku salah ngomong? Apa aku menjijikan?”

Sampailah kamu pada satu kesimpulan : barangkali nanti tidak ada seorang pun yang menganggap kehadiran dirimu sebagai bencana. Kamu mengerdil, semakin kerdil. Menjadi titik. Tak berarti. Tersapukan badai pikiran sendiri.

Kehilangan dunia tidak lebih menyakitkan daripada kehilangan diri sendiri. Ingatkah kalau kamu juga punya sejarah? Ada fosil masa lalu yang disembunyikan. Ada penyok disisi belakang. Ada debu dibagian dalam yang tak tersentuh. Ada beberapa sisi menyedihkan yang hampir kamu lupakan dan tak ingin orang lain intip. Detik ini, bahkan saat kamu mengingatnya, air matamu menitik.

Bagi mereka kamu tulus, dirimu seperti museum. Mungkin tak banyak didatangi pengunjung. Namun mereka, para pengunjung itu, tetap percaya: kamu berharga. Yang indah jadi cerita. Yang busuk jadi legenda. Yang lebih darimu tidak membuat mereka buta. Yang kurang darimu mereka terima untuk diperbaiki sama-sama. Tanyamu sambil tertawa, “Siapa? Emang ada yang sudi nerima aku apa adanya?”



Creat by Kartini Fastuti


Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 PECANDU KATA.