Sekarung beras, bantal dan selimut, disiapkan. Perempuan itu, merusak jam kerjanya dari memintal baju. “Bu, tak apa, aku bisa..”, tapi ucapanmu tidak digubris. Ia tetap sibuk mengurus keperluan yang kau anggap remeh. Pada tarikan nafas ketiga, dia memerintah keras “kelambu, ambilkan!, anakku harus jauh dari malaria di kota orang”.
Kalau boleh dia bilang padamu, dadanya sedang bergemuruh. Hari itu dia akan melepaskan kamu, merantau ketempat yang mungkin belum pernah ia tuju.
Satu pelukan lama dihadirkan. Kedua pipimu dicium, sedangkan yang diseka adalah pipinya. “kamu, jangan lupa makan. Jangan lupa kabari ibu ya. Jaga shalat, jaga sikap. Kalau rindu, pulanglah”.
Kamu hanya bisa menggenggam tangannya, mengangguk, lalu pergi, untuk menggaet si mimpi.
Kamu tahu, hari itu sendu. Jarak mulai terbentang, Ibumu perlahan-lahan tertinggal di belakang, sambil menggenggam jarinya sendiri, sambil menyeka pipinya sendiri. Sedangkan kamu ke kota, untuk berpuluh-puluh windu lamanya.
Dia, yang selalu melebarkan selimut, yang berusaha memastikan bahwa kamu baik-baik saja, sedang menyalahkan diri “orang tua ini, tidak bisa melawan jarak, tak sanggup menantang kala”.
Dia, yang lupa jam rehat karena sakitmu dulu, masih berusaha mengetik pada papan huruf “sudah ujian? Kapan kau akan menelpon?”, menunggu ponselnya berdentang, berharap akan dapat balasan, “dari anakku bukan?”.
Dia, yang selalu menengadah ke penjuru langit “demi anakku, kabulkan ya Allah”. Berlama-lama menahan kantuk dan lelah, menunggu kabar darimu.
Dia, menunggu kabar darimu, untuk melepas gontai, melepas gemuruh, melepas rindu. Menunggu kabar, “apa kamu baik-baik saja?”. Menunggu kabar, bukan tentang kabarnya. Tapi tentang kamu, anak emasnya.
Lalu, sudah kah kamu berkabar?
Apa kabar ibumu hari ini?
Kalau boleh dia bilang padamu, dadanya sedang bergemuruh. Hari itu dia akan melepaskan kamu, merantau ketempat yang mungkin belum pernah ia tuju.
Satu pelukan lama dihadirkan. Kedua pipimu dicium, sedangkan yang diseka adalah pipinya. “kamu, jangan lupa makan. Jangan lupa kabari ibu ya. Jaga shalat, jaga sikap. Kalau rindu, pulanglah”.
Kamu hanya bisa menggenggam tangannya, mengangguk, lalu pergi, untuk menggaet si mimpi.
Kamu tahu, hari itu sendu. Jarak mulai terbentang, Ibumu perlahan-lahan tertinggal di belakang, sambil menggenggam jarinya sendiri, sambil menyeka pipinya sendiri. Sedangkan kamu ke kota, untuk berpuluh-puluh windu lamanya.
Dia, yang selalu melebarkan selimut, yang berusaha memastikan bahwa kamu baik-baik saja, sedang menyalahkan diri “orang tua ini, tidak bisa melawan jarak, tak sanggup menantang kala”.
Dia, yang lupa jam rehat karena sakitmu dulu, masih berusaha mengetik pada papan huruf “sudah ujian? Kapan kau akan menelpon?”, menunggu ponselnya berdentang, berharap akan dapat balasan, “dari anakku bukan?”.
Dia, yang selalu menengadah ke penjuru langit “demi anakku, kabulkan ya Allah”. Berlama-lama menahan kantuk dan lelah, menunggu kabar darimu.
Dia, menunggu kabar darimu, untuk melepas gontai, melepas gemuruh, melepas rindu. Menunggu kabar, “apa kamu baik-baik saja?”. Menunggu kabar, bukan tentang kabarnya. Tapi tentang kamu, anak emasnya.
Lalu, sudah kah kamu berkabar?
Apa kabar ibumu hari ini?
Pk_Raihanah
Bogor, 22 Maret 2019

Posting Komentar